Kerangka Studi Hukum Islam Perspektif Filsafat Dan Objek Kajian Filsafat Hukum Islam

Latar Belakang

Hukum Islam dikenal sebagai hukum transedental yang memiliki validitas tersendiri dan sama sekali berbeda dengan hukum buatan manusia. la adalah hukum Allah yang secara tegas dan jelas didasarkan atas wahyu yang oleh karena itu secara teoritik ia tidak mungkin untuk diubah.

Hukum Islam adalah totalitas religious yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslimin. Jika hal itu dipahami sebagai produk pemikiran muslim jurist (fuqaha), maka lazimnya disebut fiqh. Namun bila dipahami sebagai aturan hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut syari’ah. Karenanya, apa yang secara sederhana dinyatakan dengan istilah hukum Islam sebenarnya merupakan keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh MacDonald bahwa hukum Islam adalah the science of all things human and divine (pengetahuan mengenai semua hal yang berkaitan dengan manusia dan tuhan).

Begitu pentingnya hukum Islam dalam perkembangan agama Islam, membuat Joseph Schacht sampai kepada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini terlihat dari instruksi Rasulullah SAW. kepada para sahabat dalam menghadapi realitas umat waktu itu. Saat itu, para sahabat tidaklah mengalami problem apapun, karena apabila mereka mendapatkan kesulitan mereka dapat secara langsung bertanya kepada Nabi Muhammad. Terlebih lagi pada masa ini persoalan-persoalan yang di hadapi umat Islam masih sangat terbatas pada persoalan-persoalan sederhana karena pada periode ini sekalipun Islam telah dianut oleh masyarakat yang berbeda dalam lingkungan Jazirah Arab, tetapi tradisi, corak, kehidupan sosial, dan tingkat ekonominya tidak jauh berbeda. Sehingga masalah-masalah yang muncul dan menuntut penyelesaian yuridis baik secara kualitatif maupun kuantitatif hampir sama dan bahkan dari beberapa masalah yang dihadapai oleh umat menjadi latar belakang turunnya ayat al- Qur’an. Selanjutnya ia mengalami masa pertumbuhan perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan akhirnya kejumudan.

Pengertian Filsafat Hukum Islam

Kata filsafat berasal dari penggabungan kata Yunani philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta terhadap kebijaksanaan. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Phythagoras (580-500 SM) kemudian dipopulerkan oleh Plato (429-347 SM).

Dalam dunia Islam, istilah filsafat sering disebut  Al-hikmah yang artinya adalah kebijaksanaan. Syaifan Nur dengan mengutip Al-Kindi, mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh kebenaran. Kebenaran di sini diklasifikasi pada dua, yakni kebenaran teoretis sebagai sistem pikiran yang benar dan kebenaran praktis yang merupakan tindakan yang benar. Sementara itu pada sumber yang sama, Al-Farabi membagi kebenaran menjadi kebenaran menurut keyakinan dan kebenaran opini atau mungkin maksudnya kebenaran dari penemuan pikiran. Filsafat menurut Al-Farabi adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.

Para ahli mempunyai definisi yang sangat beragam mengenai apa itu filsafat hukum Islam. Hal ini terjadi, karena filsafat hukum Islam dalam tradisi dan keilmuan Islam merupakan disiplin baru. Dalam pembidangan ilmu keislaman tradisional, filsafat hukum belum dikenal, sekalipun dalam beberapa hal, ia mempunyai kemiripan dengan usul fikih. Karena masih termasuk disiplin baru, filsafat hukum Islam masih proses pencarian bentuk bakunya. Ia tidak seperti filsafat Islam yang sudah mempunyai bentuk baku.

Dengan tidak bermaksud menyederhanakan. Dalam hal ini, mengambil definisi yang dianggap representatif dan komprehensif dari semua definisi yang diberikan oleh para ahli, yaitu, filsafat hukum Islam merupakan filsafat khusus yang objeknya tertentu, yakni hukum Islam. Artinya filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, di mana filsafat digunakan untuk menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapat keterangan yang mendasar. Dengan rumusan lain, filsafat hukum Islam ialah pengetahuan tentang hakikat (ontologi), metode (epistemologi), tujuan dan rahasia (aksiologi) tentang hukum Islam, yang dilakukan secara ilmiah, sistematis, radikal dan dapat dipertanggung jawabkan.

Dengan menggunakan filsafat sebagai instrumen analisis, layaknya filsafat pada umumya yang tidak bisa lepas dari tiga komponen: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Maka filsafat hukum Islam juga terkait erat dengan tiga komponen di atas, yaitu: apa ontologi hukum Islam; bagaimana epistemologi hukum Islam; serta aksiologi hukum Islam.

Secara garis besar filsafat hukum Islam mempunyai dua tugas utama: tugas kritis, dan tugas konstruktif. Pertama, tugas kritis. Seperti diketahui, filsafat adalah ilmu kritis. Tugas kritis dalam konteks hukum Islam adalah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah atau dianggap mapan di dalam hukum Islam. Filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai, sekaligus ikut andil dalam mencari jawaban yang benar dan relevan. Selain melakukan kritik internal di dalam hukum, filsafat juga melakukan kritik eksternal, yaitu kritik ideologi. Artinya, dalam proses penemuan atau pembentukan hukum Islam jangan sampai ada bias-bias ideologi atau kepentingan tertentu dari seorang ahli hukum.

Kedua, tugas konstruktif. Tugas konstruktif di sini adalah membina, membangun, mempersatukan serta menyelaraskan cabang-cabang hukum Islam dalam satu kesatuan sistem hukum yang utuh dan tidak terpisahkan. Dengan kata lain, filsafat berfungsi untuk mengkonstruks bangunan suatu hukum dalam hukum Islam, baik itu dalam aspek ontologi, epistemologi serta aksiologinya menjadi satu kesatuan yang utuh, sistematis, dan runut.

Dalam konteks candah dalam Ahmadiyah Qadian, tugas konstruktif ini digunakan terlebih dahulu. Dengan fungsi konstruktifnya, filsafat menganalisa apa ontologi, epistemologi dan aksiologi dari candah. Ontologi berfungsi untuk mencari apa konstruks dan landasan filosofis candah; epistemologi untuk mengetahui tharīqah istimbāth al-ahkām-nya, serta aksiologi untuk melihat nilai gunanya. Setelah itu, baru kemudian fungsi kritis digunakan.


Objek Kajian Filsafat Hukum Islam

Dari definisi di atas, sebagai sebuah ilmu, yang mempunyai objek materiil dan objek formal. Maka bisa ditarik sebuah pemahaman, bahwa filsafat hukum Islam mempunyai dua macam objek, yaitu objek materiil (fῑ zāhirihi) dan objek formal (fῑ bātinihi). Objek materiilnya adalah sesuatu yang dijadikan objek penyelidikan, objek analisis, dan objek penalaran, dalam hal ini yang menjadi objek mareriilnya adalah hukum Islam. Dengan kata lain, hukum Islam diselidiki, dianalisis, dan dinalar dengan menggunakan instrumen filsafat. Hukum Islam sebagai objek analisis, dan filsafat sebagai pisau bedah analisisnya.

Adapun objek formalnya adalah sudut pandang untuk memahami objek materiil, yaitu ilmiah, menyeluruh (komprehensif), rasional, radikal, sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan tentang hukum Islam. Artinya dalam mengkaji dan menganalisa hukum Islam, maka dilakukan dengan cara-cara rasional, radikal, menyeluruh dan sistematis. 


Objek Material Filsafat Hukum Islam

Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand), atau dapat juga dikatakan sesuatu yang diselidiki, atau sesuatu yang dipelajari. Objek material mencakup apa saja, baik sesuatu yang konkret seperti manusia, tumbuhan dan batu, mau pun sesuatu yang abstrak seperti ideide, nilai-nilai dan kerohanian.Misalnya ilmu hukum, objek materialnya adalah dogmatika hukum, yaitu kodifikasi (aturan tertulis) yang dibuat oleh pemerintah yang memiliki daya ikat.

Bedakan dengan hukum Islam, di mana objek materialnya berada di dalam dua macam teks: 1) teks yang berupa nas syariat, baik itu ayat Alquran maupun Hadis Nabi saw. yang telah dibukukan; 2) teks berupa qanun yang dipositifkan oleh ulil amri. Jadi objek material yang dikaji ilmu hukum Islam adalah teks, baik teks nas syariat mau pun qanun.

Memerhatikan uraian tentang pengertian filsafat hukum Islam, tampak bahwa objek yang dikaji atau diteliti adalah hukum dalam arti fikih (khiṭāb Allāh) dan hukum dalam artian siyāsah (khiṭāb ūlil amri). Hukum dalam arti fikih merupakan objek material yang juga menjadi kajian ilmu Fikih, Usul Fikih dan ilmu Maqāṣid al- Syarī‘ah.9 Sementara hukum dalam arti siyāsah merupakan objek material yang juga dikaji oleh ilmu Siyāsah Syar‘īyyah dan Fiqh Qanuni, tetapi masing-masing ilmu ini menyorot sisi yang berbeda. Dalam istilah filsafat ilmu, sisi yang berbeda-beda ini disebut objek formal suatu ilmu. Demikian pula filsafat hukum Islam, ia memiliki objek formal tersendiri yang membuatnya berbeda dari ilmu-ilmu lain, walau objek material yang disorotnya sama dengan ilmu lain.

Objek Formal Filsafat Hukum Islam

Objek formal adalah adalah cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek material kajiannya, serta prinsip- prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan ilmu, bahkan sekaligus membedakannya dari bidang kajian ilmu lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbedabeda. Sudut pandang yang berbeda-beda itulah yang disebut objek formal suatu ilmu. Misalnya ilmu hukum, meski yang dihadapinya sebagai objek material adalah dogmatika hukum yang berupa teks qanun, tetapi objek formal yang disorotnya adalah makna yang terkandung dalam dogmatika hukum yang berupa teks aturan tersebut.

Demikian pula pada fikih, objek formalnya adalah ideide atau konsep yang terkandung dalam nas (perintah dan larangan al-Syāri‘). Adapun pada siyāsah, selain nas syariat, objek formalnya juga termasuk makna yang terkandung dalam aturan pemerintah (ulil amri), itulah yang telah melahirkan ilmu fiqh qanuni. Objek formal kedua ilmu ini bersifat abstrak, sebab berupa konsep-konsep yang terkandung dalam teks, lalu diabstraksikan secara filosofis. Hanya saja objek formal fikih adalah kandungan teks Alquran dan Sunah, sementara objek formal siyāsah ditambah dengan kandungan teks qanun yang merupakan kajian terhadap peraturan ulil amri atau pemerintah. Secara metafor, sudut pandang ini bisa ditamsilkan seperti kaca mata yang dipakai oleh peneliti saat melakukan pengamatan.

Telihat secara lebih detil, kajian terhadap aspek ontologis hukum Islam malah lebih luas sebarannya dari sekadar ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas, bahkan harus ditelusuri dalam diskusi Ilmu Kalam. Sementara kajian aspek epistemologis dari hukum Islam cenderung terkonsentrasi dalam diskusi uṣūliyyūn dan terekam dalam kitab-kitab usul fikih. Adapun aspek aksiologis dari hukum Islam menyebar dalam kitab-kitab usul fikih, dan belakangan dikumpulkan dalam kitab-kitab tersendiri yang diberi judul maqāṣid alsyarī‘ah.

Satu hal yang diduga menyebabkan filsafat hukum belum tertata dalam satu ilmu khusus, adalah anggapan sarjana muslim bahwa filsafat hukum Islam adalah subjek materi ilmu usul fikih. Tetapi asumsi ini tidak memadai dengan semakin teguhnya keberadaan ilmu usul fikih sebagai ilmu tentang teori hukum Islam. Sebagian sarjana muslim menempatkan maqāṣid al-syarī‘ah sebagai filsafat hukum Islam, tetapi maqāṣid pun telah dijadikan sebagai ilmu mandiri. Di sisi lain, satu bagian dari filosofi hukum Islam yang terkait dengan hubungan antara hukum dan negara tidak berhenti dalam konsep siyāsah syar‘iyyah. Bagian ini juga belum cukup memadai dijawab oleh ilmu Fiqh Qanuni, bahkan masih terus memicu diskusi filosofis. Oleh karena itu, diskusi tentang hubungan hukum dan negara masih menuntut kajian filsafat hukum Islam untuk mengakomodasinya. Maka perlu usaha menghimpun kajian tersebut dalam subjek filsafat hukum Islam.

Kesimpulan

Filsafat hukum Islam merupakan filsafat khusus yang objeknya tertentu, yakni hukum Islam. Artinya filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, di mana filsafat digunakan untuk menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapat keterangan yang mendasar. Dengan rumusan lain, filsafat hukum Islam ialah pengetahuan tentang hakikat (ontologi), metode (epistemologi), tujuan dan rahasia (aksiologi) tentang hukum Islam, yang dilakukan secara ilmiah, sistematis, radikal dan dapat dipertanggung jawabkan.

Filsafat hukum Islam mempunyai dua macam objek, yaitu objek materiil (fῑ zāhirihi) dan objek formal (fῑ bātinihi). Objek materiilnya adalah sesuatu yang dijadikan objek penyelidikan, objek analisis, dan objek penalaran, dalam hal ini yang menjadi objek mareriilnya adalah hukum Islam. Adapun objek formalnya adalah sudut pandang untuk memahami objek materiil, yaitu ilmiah, menyeluruh (komprehensif), rasional, radikal, sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan tentang hukum Islam.


Ditulis Oleh : Miswar

Editor Walies MH