Metode Istinbat Fiqh Al-Syafi’iyah Dalam Menetapkan Hukum Wajib Ber'Iddah Akibat Wath Syubhat
Metode Istinbat Fiqh Al-Syafi’iyah Dalam Menetapkan Hukum Wajib Ber'Iddah Akibat Wath Syubhat
Dalam memetik
istinbat suatu hukum, Imam Al-Syafi’i dalam bukunya ar-risalah
menjelkaskan bahwa ia memakai empat dasar : al-Quran, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Kelima dasar ini kemudian dikenal sebagai dasar-daxsar mazhab Al- Al-Syafi’i.
Dasar pertama dan utama dalam menetaapkan hukum adalah al-Quran. Apabila dalam
al-Quran tidak ditemukan hukum suatu masalah, ia beralih pada Sunnah Nabi
Muhammad SAW. As-Sunnah yang di pakai adalah Sunnah yang nilai kualitasnya
mmutawitir perawinya banyak maupun ahad perawinya satu orang yang kualitas
sahih dan hasan, bahka As-Sunnah da’if. Adapun syarat-syarat As-Sunnah da’if
adalah : tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli umum
dari nass, tidak bertentangan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan
sekedar bukan untuk menetapkan amal fada’il al’-a’mal atau untuk
himbauan targib dan anjuran tarhub.
Dalam pandangan
Al-Syafi’i, hadist mempunyai kedudukan yang begitu tinggi setingkat dengan
al-Quran dalam kedudukan nya sebagai sumber hukum islam yang harus diamalkan.
Karena, menurut Imam Al-Syafi’i, hadist itu mempunyai kaitan yang sangat erat
dengan al-Quran. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang di tetapkan Rasulullah
SAW pada hakikatnya merupakan hasil pemahama yang ia peroleh dari memahami al-Quran.
Dan satuhal
yang perlu diketahui bahwa Imam Al-Syafi’i tidak bersikap fanatik terhadap
pendapatan-pendapatannya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata :
“demi allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau
melalui lidah orang lain”. Adaapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Al-Quran
Al-Syafi’i
menegaskan bahwa al-Quran membawa petunjuk, menerangkan yang halal dan yang
haram, menjanjikan balasan : surga bagi yang ta’at dan neraka bagi yang
durhaka, serta memberikan perbandingan dengan kisah-kisah umat terdahulu. Semua
yang di turunkan Allah dalam Al-Quran adalah hujjah dalil, argumen dan
rahmat. Menurutnya, setiap kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai
dalil dan petunjuk dalam al-Quran.
BACA JUGA : Pandangan Imam Syafi’i Tentang Iddah Watha’ Syubhat
Menurut
Al-Syafi’i, al-Quran mengandung 3 hal yaitu : amr, dan khabar
serta apa yang tercantum di dalamnya dalam bentuk ikhtibar dan istifham,
maksudnya dalah penetapan taqrir atau ancama. Yang dikendaki dari amr
adalah wajib, sunnah dan mubah, sedang yang dikehendakinya dari nahi
adalah haram, makruh dan tanzih.
Pembagian Ayat Al-Qur’an
Kemudian,
nas-nas hukum yang terkandung dalam al-Quran kira-kira 500 ayat terbagi dalam 6
macam :
1. Umum dan khusus.
2. Mujmal dan mufassar.
3. Mutlaq dan muqayyad.
4. Isbat (positif) dan nafi (negative).
5. Muhkam dan mutalabih. Dan,
6. Nasikh dan mansukh.
2. As-sunnah
Al-Syafi’i menegaskan bahwa as-sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti, sama halnya dengaan al-Quran. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengajukan dalil, baik berupa dalil naqli nmaupun aqli. Al-Syafi’i mengemukakan bahwa Allah secara tegas mewajibkan manusia menaati Rasulullah SAW.
Kedudukan Sunnah / Hadis
As-sunnah
selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Quran juga sebagai pelengkap yang menginterprestasikan
isi kandungan al-Quran, sehingga kedudukan as-sunnah atas al-Quran sebagai
berikut :
1. Ta’kid menguatkan dan mengkokohkan al-Quran.
2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Quran
3. Tasbit, menetapkan hukum yangt tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Quran.
Mengenal pembagian
khabar sunnah, fiqh Al-Syafi’iyah membaginya menjadi 3: khabar mustafit dan
kabar ahad. Al-mawardi juga tidak lupa berbicara masalah keadeaan serta
sifat-sifat para rawi, isnad serta hal ahwalnya.
Mengenai kabar mutawitir, fiqh Al-Syafi’iiyah memandang kebenarannya bersifat pasti sehingga kaqbar itu mutlak harus di terima sebagai dalil. Sedang selain khabar mutawatir, kesalihah khabar itu dapat diketahui melalui penelitian ndengan menggunakan kriteria tertentu. Secara lebih rinci,
Persyaratan hadist sahih itu diuraikan oleh Al-Syafi’i sebagai berikut :
1. Sanad hadist
itu haruslah bersambung sampai kepada Nabi SAW.
2. Perawinya harus
siqah terpecaya dalam hal keagamaan dan dikenal sebagai oramg yang selalu
berbicara benar.
3. Perawi mengerti
makna hadist yang di riwayat kan serta mengetahui hal-hal yang dapat mengubah
makna bila meriwayatkan dengan makna, atau dapat menyampaikan hadistnya persis
seperti yang di dengarnya jika ia meriwayatkan berdasarkan hafalan, atau
memerihara kitapnya jika ia meriwayatkan dari kitap.
4. Riwayatnya
selalu sesuai dengan riwayat para ahli ahl al-hifs wa as-sigat.
5. Perawi tidak
melakukan tadlis, artinya tidak meriwayatkan dari seorang kecuali hadist
yang benar-benar didenagarnya dari orang tersebut.
6. Pesyaratan ini
harus dipenuhi pada setiap tingkatan dalam jalur periwayatan hadist tersebut.
3. Ijma’
Ijma’ menurut para
ulama usul adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya
Nabi SAW atas suatu perkara agama. Al-Syafi’i menegaskan bahwa ijma’ merupakan
dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas pada semua bidang. Sesuatu
yang telah di sepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak
mengemukakan dalil kitap atau sunnah, di pandangannya sama dengan hukum yang di
atur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas
suatu hukum menunjukkan bahwa iti tidak semata-mata besumber dari ra’yu
pendapat karena ra’yu akan selalu berbeda-beda.
Imam Al-Syafi’i
mendifinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama’ di masa tertentu atas suatu perkara
berdasarkan riwayat Rasul. Karena
menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan
as-Sunnah.
Imam Al-Syafi’i
membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti.
Namun yang paling diterima oleh nya
adalah ijma’sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarena kan
kesepakatan itu disadarkan kepada nass, dan berasal dari secara tegas dan jelas
sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’sukuti di tolaknya
karena bukan nerupakan kesepakatan senua mujtahid. Dan diamnya mujtahid, belum
mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi
kehidupan para ulama di masanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka,
maka menurutnya, ijma’ hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan telah
mempunyai dasar atau sumber hukum.
4. Qiyas
Qiyas Adalah menyamarkan
perkara yang tidak ada nass hukumnya kepada perkara lain yang sudah ada nass
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Muhammad Abu Zahra menjelaskan
bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas merumuskan kaidah-kaidah dan
dasarnya adalah Al-Syafi’i. Al-Syafi’i menyatakan bahwa qiyas itu ada beberapa
macam dengan tingkat kejelasan dan kekuatan yang berbeda. Suatu qiyas di anggap
berada pada tingkatan paling kuat apabila keberadaan hukum pada furu’
kasus cabang lebih kuat aula dari pada keberadaan pada asl kasus
pokok.
Pembagian Qiyas
Sejalan dengan
itu, berdasarkan tingkat kejelasan illah sebagai landasan penetapan
hukum pada furu’, para ulama membagi qiyas menjadi tiga maca sebagai
berikut :
1. Qiyas akwea,
Qiyas akweayakni apabuila berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pada berlakunya pada
asl karena keberadaan illah lebih nyata pada furu’ dari pada asl sebagai
contoh, Al-Syafi’i mengemukaklan sebuah hadist yang menyatakan bahwa Allah
mengharamkan seorang mukmin berprasangka buruk. Kepada orang mukmin lainnya.
Berdasarkan ini, menuduhnya secara tegas tentu lebih utama lagi keharamannya.
2. Qiyas musawi,
Qiyas musawiyaitu apabila furu’ sama derajatnya dengan hukum asl-Al-Ghazali mengumukakan
contonya sebagai berikut. Rasulullah SAW mengatakan, bila seorang laki-laki
mengalami kepaitan iflas atau meninggal
tersebut lebih berhak atas barangnya. Berdasarkan qiyas, ketentuan
tersebut diberlakukan juga bagi perempuan yang mengalami keadaan yang sama.
3. Qiyas ad’af,
Qiyas ad’af, yaitu apabila keberadaan hukum pada furu’ lebih lemah dari pada keberadaan pada asl. Qiyas merupakan dalil syara’ yang telah di tetapkan secara meyakinkan. Qiyas mempunyai beberapa unsur yang harus dipenuhi yaitu, maqis, maqis’alaih dan illat. Karenya, suatu peritiwa tidak boleh di qiyaskan kepada suatu peritiwa yang telah ada nass hukumnya berdasarkan kesamaan perkara yang bukan illat syar’i. Qiyas termasuk perkara yang amat rumit yang hanya dilakukan oleh para ulama mumpuni yang memahami nas-nas, hukum-hukum realitas Imam Al-Syafi’i, seperti yang di kutip an-Nabhani berkata bahwa tidak seorang pun boleh melakukan qiyas sehingga ia menjadi ‘alim, mengetahui dengan baik sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf dan bahasa arab. Ia juga harus mempunyai akal yang sehat sehingga mampu membedakan antara yang rancu musytabih, tidak tergesa-gesa mengeluarkan pendapat, dan tidak enggan mendengar pendapat orang yang menentangnya orang lain, bisa jadi mengingatkan apa yang terlewatkan dan kesalahn yang iaa yakini benarnya.
5. Istishab
Mazhab
Al-Syafi’i menjadi istishad sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istihan
adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang
berdasarkan atas ketentuan hukum yang yang sudah ada di masa lampau.jadi
sesuatu yang telah diyakini tersebut hukumnya tetap seperti hukum pertama,yaitu
tetap ada,begitulah pula sebaliknya.Misalnya seseorangtelah yakin sudah
berwudhu,kemudian datang keraguan apakah sudah batal atau belum maka hukum yang
dimiliki oleh tersebut adalah belum batal wudhunya.
Dari keterangan
metode istimbath di atas menurut fiqh Al-Syafi Iyyah tentang ‘’’iddah perempuan
hamil karna wath syubhat tidak menyebutkan secara jelas tentang metode
istimbath hukum yang beliau gunakan tetapi dalam menggali hukum atau
beristimbath hukum terhadap sesuatu yang tidak dijumpai nash hukumnya dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah,imam Al-Syafi’l mengedapkan penyelesaian berdasarkan
pemikiran logika.Namun dalam permasalahan ini beliau menggunakan metode
qiyas.Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya,dalam
hukum yang ada nashnya,karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Metode
istinbath imam Al-Syafi’i yang digunakan dalam masalah kewajiban ‘’iddah akibat
percampuran syubhat adalah metode qiyas.Adapun hukum’’iddah sebab wath’syubhat
jika dikolerasikan dengan rukun-rukun qiyas maka perinciannya adalah sebagai
berikut:
Asal:Imam
Syafi’i mengambil dalil dalam Al-Qur’an, yaitu bahwa’’iddah merupakan
masa tunggu yang harus dijalani oleh wanita yang berpisah dengan suaminya, baik
cerai mati atau talaq.
Imam Al-Syafi’i mempersamakan’’iddah sebab wath’syubhat dengan orang yang di-talaq (wanita muthalaqah). seperti diterangkan dalam firman Allah surah Al-Baqarah ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقٰتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ
يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ
ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
Artinya : Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti iu, jika mereka (para suami) menghendaki istilah.dan para
wanita yang mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. akan tetapi para suami,mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
isterinya.dan Allah maha perkasa lagi maha Bijaksana. (Al-Baqarah ayat
[2]:228).
Furu’un (cabang) disini adalah bagaimana’’iddah sebab wath’syubhat.
6. Illat
Sebab diwajibkan nya’’iddah seperti yang diambil dari mafhum
mukhalafah Al-Qur’an surah al-baqarah 228 bahwa:’’iddah wajib bagi
wanita yang di talaq. Selain dalam al-baqarah 228 bahwa’’iddah wajib
bagi wanita yang di talaq. Selain dalam al-baqarah juga di terangkan
dalam al-Ahzab ayat 49. Dalam surat ini urgensi “iddah tak lain adalah
untukm mengetahui kondisi rahim sebab telah terjadi percampuran. Sedangkan
surah al-Baqarah menyebutkan batas waktu pelaksanaan “iddah yaitu,
selama tiga quru’ bagi perempuan yang masih haid. Dan percampuran
syubhat ini tidak di sebut dalam al-Quran, karena dalam al-Quran hanya
menyebutkan perpisahan karena talaq (yang jelas karena adanya
pernikahan), meningga dunia.
7. Hukum
Hukum asal yang di sebut dalam al-Quran bahwa orang yang berpisah
dengan suaminya karena talaq harus menjalani ‘iddah dengan ketentuan
telah di-dukhul (disetubuhi). Seperti yang telah disebut dalam surat
Al-Ahzab ayat 49 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ
وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
Artinya : hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu
minta mentempurnakannya. Maka berika mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya (Al-Ahzab [33] : 49).
Gabung dalam percakapan